Selasa, 24 April 2012

Dibayar Lunas Dengan Segelas Susu

Tidak ada komentar:
Suatu hari, seorang pemuda miskin, yang menjual barang dari pintu ke pintu untuk membiayai sekolahnya, menemukan dirinya hanya memiliki uang sepeser dan dia kelaparan. Dia akhirnya memutuskan untuk meminta makan di rumah selanjutnya. Namun, dia kehilangan keberaniannya ketika seorang wanita muda cantik membuka pintu rumah. Alih-alih meminta makan, pemuda itu hanya meminta segelas air putih. Wanita itu berpikir bahwa pemuda itu terlihat kelaparan jadi dia membawakannya segelas besar susu. Pemuda itu meminumnya pelan-pelan, dan kemudian bertanya, “Berapa saya berhutang kepada Anda?”

”Kamu tidak berhutang apa-apa kepada saya,” jawab wanita itu. “Ibu saya selalu mengingatkan kami untuk tidak pernah menerima bayaran atas kebaikan yang kami lakukan.”

Pemuda itu kemudian berkata.. “Kalau begitu, saya berterima kasih dari hati saya yang terdalam.”

Pemuda itu bernama Howard Kelly, dia kemudian meninggalkan rumah itu bukan hanya dengan fisik yang lebih kuat, namun juga imannya kepada Tuhan dan orang lain. Sebelumnya, dia sudah ingin menyerah dan berhenti.

Bertahun-tahun kemudian, wanita muda tadi mengalami sebuah penyakit kritis. Dokter setempat tidak mampu menanganinya. Mereka kemudian mengirimnya ke kota besar dimana ada spesialis yang dapat menangani penyakitnya yang aneh.

Dr. Howard Kelly dipanggil untuk memberikan konsultasi. Ketika dia mendengar nama kota asal wanita tersebut, sebuah Cahaya aneh memenuhi matanya. Dengan cepat ia bangun dan turun ke aula rumah sakit menuju kamar wanita itu.

Menggunakan pakaian dokternya dia mengunjungi wanita tersebut. Dr. Kelly langsung mengenali wanita itu, dia kemudian kembali ke ruang konsultasinya dan memutuskan untuk melakukan yang terbaik untuk menyelamatakan nyawanya. Mulai hari itu dia memberikan perhatian khusus kepada kasus wanita tersebut.

Setelah berjuangan selama beberapa waktu lamanya, akhirnya pertempuran dimenangkan.

Dr. Kelly kemudian meminta bagian administrasi untuk menagihkan biaya pengobatan wanita tersebut kepadanya. Dia kemudian melihat tagihan tersebut, kemudian menuliskan sesuatu di tagihan tersebut, lalu tagihan tersebut di kirim ke ruangan wanita tersebut. Wanita itu sangat takut untuk membuka tagihan itu, dia yakin membutuhkan seluruh sisa hidupnya untuk membayar biaya pengobatan itu. Akhirnya dia membuka amplop tagihan itu, dan sesuatu menarik perhatiannya di sisi tagihan itu. Dia membaca kalimat ini…

“Dibayar lunas dengan segelas susu.” – tanda tangan – Dr. Howard Kelly.

Air mata sukacita mengalir di wajah wanita tersebut, dengan bahagia dia berdoa: “Terima kasih Tuhan, karena cinta-Mu telah menyebar melalui hati dan tangan manusia.”

Setiap kemurahan hati yang kita tabur, pasti akan kita tuai. Mungkin tidak selalu seperti kisah di atas, kita tidak selalu menerima timbal balik dari orang yang kita tolong, namun percayalah bahwa Tuhan memiliki banyak cara untuk menunjukkan kemurahan hati-Nya kepada Anda.

Minggu, 15 April 2012

Saat Memberi, Saat Menerima

Tidak ada komentar:
Sore hari, Jumat, 30 Oktober 2009, merencanakan untuk pulang dari kantor agak sore. Saat waktu mendekati jam pulang kantor, mendadak ada telpon dari teman di lantai 3, dia minta dibuatkan newsletter untuk dikirimkan sore itu juga. "Yah, alamat nglembur deh," kataku dalam hati.

Singkat cerita, pekerjaan tambahan itu akhirnya selesai, walaupun belum 100%, sekitar jam 20.30. Dengan santai, walaupun akhirnya pulang agak malam, aku berjalan keluar dari kantor dan menyusuri Jl. Panjang menuju ke halte busway, seperti biasanya. Capek dan ngantuk banget rasanya.

Menjelang perempatan Kedoya Duri Raya terdengar ada seseorang menghampiriku -awalnya kukira penipu yang mo nawarin barang pameran seperti yang pernah 2 kali kutemui- dari arah belakang, "Mas, kalo jalan ke arah Parung ke arah mana ya?" tanya seorang pria bertampang lusuh dan tampak kelelahan.

"Parung Bogor maksudnya?" aku coba memastikan.

"Iya mas, daerah Bogor," jawabnya kemudian.

"Tinggal lurus aja kalau mau ke Parung. Naik bis aja dulu ke Lebak Bulus, baru dari situ ada angkutan yang ke arah Parung," kataku menjelaskan.

"Jauh nggak mas jaraknya dari sini ke Lebak Bulus?" dia bertanya lebih lanjut.

"Wah, jauh banget. Mendingan naik bis aja dulu dari sini," jawabku.

"Ya sudah mas. Terima kasih. Insya Allah saya jalan kaki saja," katanya mengakhiri percakapan.

Jujur kuakui jawaban yang dia berikan saat itu cukup membuatku terkaget-kaget dan berpikir. "Waduh, ini orang mau jalan kaki sampe Parung. Niat banget. Apa orang lagi prihatin ya? Atau jangan-jangan orang lagi kehabisan ongkos," dalam hati aku bertanya-tanya. Dia kemudian berjalan mendahului aku. Tidak lama setelah melewati perempatan lampu merah, aku terus memperhatikannya sambil mempelajari gerak-geriknya, karena aku sendiri agak penasaran dan ingin mengetahui apakah memang dia sedang kehabisan ongkos.

Sekitar 20 meter dari lampu aku melihat dia berjalan sambil memegangi pinggangnya dan tampak terengah-engah. Indikasi awal bahwa dia memang kehabisan ongkos dan secara fisik sudah kelelahan. Dan aku tergoda untuk bertaruh, kalau dia berhenti di halte yang tidak jauh dari situ maka aku akan menghampirinya dan menanyakan permasalahannya yang sebenarnya, namun bila tidak maka dia tidak seperti yang aku duga.

Ternyata dugaanku benar, dia berhenti dan duduk di halte. Aku pun kemudian menghampirinya dan berkata,"Mas beneran mau jalan kaki ke Lebak Bulus? Jauh banget lho."

"Iya mas. Insya Allah saya sampai," jawabnya dengan nada yang agak bergetar.

"Kenapa nggak naik bis aja mas. Beneran lho, jauh banget jaraknya," kataku kemudian untuk memancingnya mengatakan permasalahannya yang sebenarnya.

Perkataanku tersebut akhirnya membuatnya berterus terang bahwa dia sudah tidak memiliki apa-apa lagi untuk bekal perjalanannya sampai Parung Bogor. "Yah, mau gimana lagi mas, saya sudah ga punya bekal apa-apa lagi. Insya Allah saya akan jalan kaki saja," katanya dengan suara yang serak.


Detik berikutnya, rasa iba benar-benar menguasaiku, sehingga tanpa berpikir dua kali aku menarik dompet yang ada di saku belakang celanaku dan memberikan sejumlah uang kepadanya sambil berkata,"Kamu ambil dan pegang uang ini. Moga-moga cukup untuk bekalmu." Dan reaksi yang dia tunjukkan semakin meyakinkanku bahwa dia memang sedang bingung, kelelahan, dan putus asa. Dengan suara yang bergetar dan raut muka yang dipenuhi oleh rasa syukur dia berkata,"Mas, apakah ini benar. Ini banyak sekali."

"Sudahlah, tidak apa-apa," kataku untuk meyakinkannya.

Dan kejadian berikutnya sungguh diluar perkiraanku. Dia kemudian menunduk, seakan-akan ingin menyembah mencium kakiku, namun aku cegah, dan kemudian dia mengungkapkan rasa terima kasihnya dengan meraih tanganku dan menciumnya, sambil berkata berulang-ulang,"Alhamdullilah, terima kasih banyak mas. Dengan apa saya bisa membalas ini semua."

Aku sendiri jadi kikuk diperlakukan seperti itu.

Kemudian aku menawarkan kepadanya untuk turut serta bersamaku naik busway menuju ke Lebak Bulus. Dia tampak ragu-ragu. Namun kuyakinkan bahwa akan lebih baik kalau dia ikut bersamaku, dan dia pun akhirnya menyetujuinya. Kebetulan bis yang kami tumpangi dalam keadaan kosong sehingga kami bisa banyak berdialog. Sepanjang perjalanan tidak henti-hentinya dia mengucapkan terima kasih kepadaku dan bersyukur kepada Yang Mahakuasa. Dalam perjalanan itu pula kami banyak banyak berdialog. Dari situ aku mengetahui bahwa dia sedang dalam perjalanan mencari adik perempuannya yang sudah lama tidak ada kabarnya. Adiknya yang bekerja sebagai pembantu rumah tangga di bilangan Jelambar pun tidak berhasil dia temui karena sudah pindah kerja dan mantan majikannya juga tidak mengetahui dimana tempat kerjanya yang baru. Akhirnya diapun berencana kembali ke rumahnya di daerah Parung Bogor.

Mungkin karena buta daerah Jakarta, dia bingung dan nyasar. Jalan kaki adalah pilihan terakhir yang dia punya setelah kehabisan bekal dan tidak berhasil mendapatkan pertolongan dari anggota kepolisian yang dia temui di daerah Grogol.

Menjelang pukul 21.30 kami sampai di Lebak Bulus. “Tiketnya nanti diberikan ke siapa mas? dia bertanya ketika kami baru melangkah keluar dari bis.

“Kita sudah sampai jadi tiket itu tidak diperlukan lagi. Disimpan aja juga boleh, buat kenang-kenanganmu,” jawabku.

Kemudian kami berjalan ke luar terminal menunggu angkot jurusan Parung. Ketika kuraba saku jaketku, aku menemukan obat masuk angin yang tadi siang aku beli buat jaga-jaga. Kupikir dia akan membutuhkannya maka kuberikan saja obat itu.

Melihat keadaan seputar terminal Lebak Bulus pada malam hari memang baru pertama kali itu bagiku. Aku melihat dan merasakan banyak sekali “mata lapar” yang siap untuk memanfaatkan kesempatan dalam kesempitan. Oleh karena itu aku jadi meningkatkan kewaspadaan dan berkata kepadanya,”Kamu kalau di Jakarta jangan seperti orang kebingungan, nanti bisa diincar dan dikerjain orang jahat.”

Aku ajak dia untuk mengamati keadaan sekitar sambil menunggu angkot, walaupun sebenarnya tujuanku sebenarnya adalah untuk memilihkan angkot yang aman untuknya. Sempat pula aku belikan bekal makanan dan minum sederhana yang diterima dengan sukacita olehnya.

Selama waktu menunggu itulah aku melihat salah satu “mata lapar” yang ada di dalam angkot jurusan Parung. Sekitar 10 menit kemudian kutemukan angkot yang kurasa cukup aman untuknya. Kusarankan dia untuk segera naik dan dia pun segera naik sambil kembali mengucapkan terima kasih atas semua pertolongan yang kuberikan. Tidak lama kemudian angkot tersebut berangkat dan lambaian tangan terakhir kuberikan kepadanya bersama doa semoga dia selamat sampai di rumahnya.

Aku pun melanjutkan perjalanan pulang dengan penuh rasa syukur karena diberi kesempatan untuk menolong orang lain dan nggak jadi ngedumel karena pulang malem lagi. RencanaNya memang luar biasa. Aku menarik pelajaran hidup dari pengalaman hari ini. Ada saatnya aku membutuhkan pertolongan orang lain dan ada saatnya aku menjadi penolong bagi orang lain. Apapun yang kumiliki, sekecil apapun, ternyata bisa menjadi sesuatu yang sangat besar artinya bagi orang lain. Menentukan saat yang tepat untuk bertindak memang menjadi sesuatu yang rumit ketika suara hati berbicara namun kita enggan atau ragu-ragu mendengarkannya.