Image: Intisari Online |
Putra dan menantunya sering kesal karena kekacauan itu. “Kita harus melakukan sesuatu untuk kakek,” kata anaknya. Sudah cukup susu yang tumpah, makan berisik, dan berserakan di lantai. Lalu, suami-isteri itu mengatur sebuah meja kecil di sudut. Di sana, kakek makan sendirian, sementara anggota keluarga yang lain menikmati makan malam di meja makan. Karena takut tumpah, makanan untuk kakek disajikan dalam mangkuk kayu. Kadang-kadang ketika mereka melirik ke arah kakek saat makan, mereka melihat linangan air mata kakek saat makan sendirian. Empat tahun hal itu berlangsung.
Suatu malam sebelum makan malam, sang ayah melihat anaknya bermain dengan potongan-potongan kayu di lantai. Dia bertanya dengan lembut pada si anak, “Apa yang kau buat?” Dengan lembut pula anak itu menjawab, “Oh, saya membuat mangkuk untuk papa dan mama.” Tersenyum, si anak melanjutkan kegiatannya.
Kata-kata itu begitu memukul kedua orangtuanya. Kemudian air mata mulai mengalir di pipi mereka. Meskipun tidak ada yang dapat diucapkan, keduanya tahu apa yang harus dilakukan. Malam itu sang ayah memegang tangan kakek dengan lembut dan membawanya kembali ke meja makan keluarga. Selanjutnya kakek makan bersama keluarga. Lalu, untuk beberapa alasan, suami-istri itu pun tampaknya tak peduli lagi saat garpu jatuh, susu tumpah, atau taplak meja kotor.
Anak-anak sangat peka. Mata mereka selalu mengamati, telinga mereka mendengarkan, dan pikiran mereka memproses pesan-pesan yang tersirat. Jika mereka melihat kesabaran dalam suasana rumah tangga yang bahagia, mereka pun akan meniru sikap tersebut selama sisa hidup mereka. Orangtua yang bijaksana menyadari itu untuk masa depan anak-anak. Mari kita menjadi model peran bagi anak-anak dengan menjadi bijaksana. Mengurus diri sendiri, dan orang yang kita cintai, setiap hari!
Sumber: Intisari-Online.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar